Benefits of a Daily Probiotic

Between trying to eat a balanced diet, getting enough exercise, and sleeping a sufficient amount, is remembering to take a probiotic every day really essential for your health? Probiotic studies…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Siapa Bilang Tak Penting?

— kamar Adek Dew —

Ucapan Papa membuat Dew seketika mengurungkan niat untuk meminta mengabulkan keinginannya. Jika boleh jujur, sesungguhnya kini Dew merasa jika permintaan dirinya menjadi tak begitu penting. Belum lagi, perkataan Papa yang benar itu sedikit banyak menyayat hatinya. Dew yang semula bersemangat menjadi menciut setelah meresapi nasihat yang dilontarkan Papanya.

Papa benar, bagaimana bisa Papa tahu keinginanku, jika aku tak memberitahunya.

Jujur, Ia terlalu takut mengungkapkan keinginannya— yang baginya menjadi sangat tak penting itu.

Segudang napas yang dimiliki Dew kini tertahan dalam dadanya. Terasa sesak hingga Ia lupa cara untuk menukarnya. Dua detik setelahnya, Dew berhasil meloloskan napasnya dengan berat. Menatap cahaya di hadapannya dengan pandangan yang seketika buram. Bukan karena Ia pejamkan kedua matanya, melainkan karena bulir air mata yang menutup akses penglihatannya.

Ya. Benar.

Pada akhirnya, Ia berada di titik ini. Titik di mana Ia menumpahkan segala emosinya melalui bulir-bulir yang Ia pun tak tahu mengapa terus berjatuhan. Padahal, Ia sudah tutup akses itu rapat-rapat. Namun ternyata, dinding tebal itu berhasil ditembus paksa oleh kumpulan emosi yang tertahan . Entah, sejatinya Ia tak pernah tahu mengapa Ia harus menangisi keadaannya saat ini.

Mungkin, kini Ia sedang berada di fase lelah menanggung semuanya sendirian. Mungkin, kini Ia sedang lelah jika harus terus dilanda kesepian. Mungkin, kini Ia lelah akan segala persepsi yang berenang di benaknya. Mungkin, mungkin, mungkin, dan mungkin. Anggap saja segala kemungkinan yang ada menjadi alasan untuk dirinya saat ini.

Tok tok tok.

Suara ketukan itu berhasil memaksa tangisannya untuk berhenti. Seketika itu juga, Ia terduduk dan mengusap kasar wajahnya dengan kaus yang Ia kenakan.

“Adek, apa Papa boleh masuk?”

“Iya, Pa masuk aja. Pintunya ga adek kunci kok,”

Pintu berhasil terbuka dan menampakkan tubuh Papa di ujung penglihatannya. Dew kini tersenyum tipis melihat Papa di hadapannya. Sedang Papa menyusul Dew untuk duduk di sebelahnya.

“Adek mau apa, sayang?” Tanya Papa tanpa basa-basi sambil mengelus lembut kepala anaknya.

“Dew ga pingin apa-apa kok, Pa. Ga penting,” tutur Dew sambil tersenyum tipis. Sebisa mungkin Ia sembunyikan sisa tangisan dari dirinya.

Tuturan Dew tanpa sadar sedikit banyak menyayat hati Papa saat ini.

“Siapa yang bilang ga penting, hm?” Dew terdiam. Papa menghela napas lalu menatap anak semata wayangnya lekat-lekat. Tentu, tatapan itu berhasil menghangatkan Dew malam ini.

“Dew sayang, apapun yang Dew rasakan, yang Dew inginkan, yang Dew pikirkan sekarang itu menurut Ayah dan juga Papa selalu penting. Dew berhak atas keinginan Dew, atas perasaan Dew, atas pikiran Dew, semuanya itu ga pernah salah, Dew— tapi izinkan Ayah dan Papa untuk tahu semuanya tentang Dew, mulai dari keinginan hingga pikiran Dew. Ayah sama Papa bukan Tuhan yang selalu tahu tanpa diberitahu. Jadi tolong bantu Ayah dan Papa buat jadi orang tua yang baik yang tahu segala hal tentang anaknya ya, Dew? Papa minta maaf juga ya kalau perkataan Papa tadi buat Dew jadi ga semangat lagi buat bicara soal keinginan Dew ke Ayah sama Papa, Papa janji ucapan Papa akan lebih halus lagi ke Adek,” air mata Dew meluruh seketika usai mendengar tutur Papa dengan nada yang kelewat halus itu. Kini, perasaan bersalah menyelimuti dirinya usai mendengar semua perkataan Papa yang sangat tepat sasaran. Tangisan Dew semakin menjadi-jadi ketika Papa membawanya ke dalam dekapan.

“Dew boleh nangis sepuasnya biar Dew lega, Papa akan nemenin Dew terus. Papa akan tunggu sampai Dew sudah bisa cerita semuanya ke Papa,”

Lima belas menit berlalu, tangisan Dew terdengar mulai mereda. Papa benar, saat ini pun masih setia membawa Dew dalam dekapannya. Setia menunggu putra semata wayangnya untuk bercerita perihal dirinya malam ini.

Papa melepas pelukan hangat itu dengan perlahan.

“Dew sudah siap cerita?” Dew masih terdiam.

“Masih ada hari esok kalau Dew mau, kalau belum— Papa akan sabar menunggu sampai Dew mau cerita,” Papa tersenyum teduh sambil mengelus pipi anaknya.

“Kalau Dew mau cerita sekarang aja gapapa, Pa?” Tanya Dew hati-hati.

“Boleh sayang, silakan cerita. Papa akan dengarkan semuanya,” titah Papa.

“Kalau Dew bilang mau ngerayain ulang tahun di panti asuhan, boleh ga, Pa?” Tanya Dew dengan suara yang nyaris tak terdengar. Sungguh, jika Dew membicarakan perihal keinginannya, nyalinya menciut.

“Ya jelas boleh, dong. Orang tua mana yang bakal ngelarang kalo anaknya punya pikiran kayak begitu, hm?” Jawab Papa dengan senyum lebarnya. Ia bangga, ternyata anak semata wayangnya memiliki keinginan sederhana nan istimewa itu. Dew mendengar itu sedikit terkekeh.

“Anak Ayah Papa ternyata sudah sedewasa ini ya? Jujur, Papa ga nyangka permintaan Adek segitu hebatnya. Kirain Papa adek mau mobil atau motor yang kapan itu,” entah kini Papanya itu tengah mengejek Dew atau sedang memuji Dew.

“Kalo dipikir-pikir boleh juga si, Pa. Ya minimal satu Maserati sama satu Ducati sih, Pa” bukannya melawan, Dew malah menerima godaan itu dengan lapang dada— bahkan menambahinya. Dew dan Papa pun langsung tertawa puas.

“Memang kamu ini ada-ada aja,” balas Papa di akhir tawanya.

“Kalau Papa boleh tau kenapa Adek pengen ngerayain di panti asuhan?”

“Ga gimana-gimana, Pa. Adek cuma mau bagi-bagi berkat dan kebahagiaan aja ke mereka. Kebetulan kapan hari Dew sama teman-teman ada acara di salah satu panti asuhan yang di situ tu anak-anaknya lucu-lucu tauk, Pa,” jelas Dew dengan antusias.

“Emm, sebenarnya Adek kesepian dan pingin punya adek. Tapi tapi kalo Ayah sama Papa ga mau, Adek ga akan maksa kok,” sambung Dew kembali dengan mempercepat tempo bicara agar tak terdengar dengan jelas.

“Oalah gitu, nanti Papa diskusikan dulu ya sama Ayah, tapi jangan terlalu berharap ya? Oke?” Balas Papa sambil membelai lembut kepala Dew.

“Iya, Pa gapapa kok, permintaan Dew yang kedua juga ga penting jadi ga usah dipikirkan,”

“No, sayang. Apapun yang keluar dari mulut Dew itu Ayah dan Papa harus selalu pertimbangkan. Jangan pernah bilang kalo hal seperti itu adalah hal yang ga penting apalagi sepele ya?”

“Iya, Pa. Dew minta maaf,” balas Dew sambil mengerucutkan bibirnya.

“Yaudah, Dew sekarang tidur ya sayang? Sudah malam,”

“Oke, selamat tidur Papa. Makasih ya Pa sudah mau repot-repot dateng ke kamar Adek buat tanya hal se— buat tanya apa mau Adek. Love you, Pa,”

Mendengar tutur Dew sontak Papa mencubit gemas hidung bangir anak semata wayangnya, yang sangat rendah diri.

“Emang Adek ini, baru aja Papa kasih tau loh, tapi Papa ga repot sayang. Papa sayang dan cinta Adek banyak-banyak. Ayah juga begitu,” Papa tersenyum lalu beranjak menuju keluar kamar.

Dew melihat kepergian Papanya sambil tersenyum. Ia telah berhasil mengungkapkan semuanya kepada Papa tanpa ada satu pun yang tersisa. Ia bangga, dengan dirinya— juga dengan Papanya. Kini Ia tenang. Kini, langit mendapati dirinya telah tertidur selang dua menit usai Papa keluar dari kamarnya.

Add a comment

Related posts:

Silicon Valley Bank Collapse vs. The 2008 Financial crisis

The Silicon Valley Bank was a commercial bank that provided banking and financial services to high-tech companies in Silicon Valley. During the dot-com bubble, the bank experienced rapid growth and…

Signs of Serious Relationship

The want for most individuals in life is to be cherished and to have the ability to provide like to a big one who unconditionally accepts them for who they’re. When you might be blessed to seek out…

10 Transformative Things To Do In Your Twenties Instead Of Wasting Time With Almost Relationships

Before going further, I’d like to put a disclaimer that I don’t think only labeled or committed relationships are worth the time; everyone has different goals and are happy with different types of…